Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita UtamaDaerahPolitikSosial & Budaya

Sistem Rasisme Terus Bertumbuh Subur Dalam Kehidupan Manusia

184
×

Sistem Rasisme Terus Bertumbuh Subur Dalam Kehidupan Manusia

Sebarkan artikel ini
Foto Doc Pribadi Alfred Iya Victor Bobii

Oleh: Alfred Victor Bobii

Artikel, NABIRE, PAPUA.RELASIPIBLIK.com – Didalam kehidupan manusia mulai dari dulu hingga sekarang, Rasisme terus menerus bertumbuh subur secara tersistem yang rapih hingga menghasilkan buah-buah konflik permasalahan yang tidak akan pernah habis. Konflik-konflik permasalahan tersebut akan menghasilkan kematian.

Example 300x600

Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Yah, itulah definisi dari kata “rasisme”.

Rasisme sendiri sudah memakan banyak sekali korban jiwa. Setiap tahunnya manusia mati sia-sia hanya karena diintimidasi dan dikucilkan oleh sekelompok orang yang merasa mereka lebih baik dibandingkan yang lain.

Banyak orang berdebat apakah pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 400,000 jiwa ini disebabkan oleh manusia, sebagai konsekuensi dari adanya berbagai efek samping yang tidak disengaja dan tidak terduga dari modernisasi dan industrialisasi yang eksploitatif.

Dalam hal pandemi rasisme, tidak diragukan lagi bahwa pandemi ini berasal dari konstruksi manusia. Jika COVID-19 berasal dari virus SARS-CoV-2, pandemi rasisme berasal dari pandangan tidak masuk akal dari sekelompok orang yang berpikir bahwa mereka lebih baik dibanding dengan orang lain yang terlihat berbeda secara biologis.

Para elite kulit putih dari Eropa sering menggunakan pandangan rasisme ini sebagai dasar kebijakan mereka yang imperialis, kolonialis, dan rasis demi mempertahankan klaim yang menyatakan bahwa mereka lebih unggul secara budaya dan biologis.

Pandangan ini menghasilkan kolonisasi dunia oleh orang-orang kulit putih Eropa, perbudakan terhadap orang-orang dari benua Afrika di tanah air mereka sendiri, di tempat lain, dan di Amerika, serta Sosialisme Nasional Jerman oleh Nazi, yang baru terjadi di Eropa 75 tahun yang lalu.

Pada waktu Jerman dipimpin oleh Adolf Hitler, Nazi menggunakan rasisme ilmiah yang berbasis pada teori Darwinisme sosial, untuk mengklaim keunggulan orang Jerman, yang dianggap punya ras superior/Arya untuk menjustifikasi pembunuhan sistematis berskala besar terhadap sekitar 11 juta jiwa, yang terjadi pada tahun 1933-1945.

Sosialisme Nasional, yang umumnya dikenal sebagai Nazisme, menggunakan, mengeksploitasi, dan memperluas logika eugenika.

Nazi membunuh tidak hanya dua pertiga dari populasi Yahudi di Eropa pada saat itu – sebagaimana diketahui dunia sekarang -, namun, mereka juga telah membunuh jutaan orang non-Yahudi lainnya, yang terdiri dari orang-orang Afrika, Romani, Sinti, dan berbagai kelompok lainnya yang dicap oleh Nazi sebagai “orang yang asosial” atau “tidak layak”, termasuk para homoseksual, orang tuli, buta, cacat, dan sakit mental.

Kita jarang mendengar bahwa Nazi juga telah membunuh jutaan jiwa dari berbagai kelompok lainnya juga telah membuktikan bahwa rasisme struktural masih berlaku hingga saat ini.

Sesuatu yang ironis bahwa AS yang merupakan anggota dari pasukan Sekutu yang dulunya mengalahkan Nazi dan mendorong terjadinya denazifikasi, baru mulai memberikan hak suara bagi orang-orang Amerika berkulit hitam sejak tahun 1960-an, dan hingga saat ini rasisme struktural terhadap orang Afrika-Amerika masih juga terjadi.

Sementara itu, di seluruh dunia banyak negara-negara pasca kolonial masih terus berjuang melawan hegemoni kulit putih.

Di wilayah Asia-Pasifik, di negara-negara yang dulunya merupakan negara koloni Eropa, banyak orang yang masih tetap menggunakan logika rasial dalam kehidupan sehari-hari mereka, secara sadar maupun tidak sadar.

Kulit gelap sering dikaitkan dengan pekerjaan kasar, sedangkan kulit yang lebih putih dan cerah sering dikaitkan dengan status sosial yang lebih tinggi dan dianggap sebagai bukti kemurnian suatu budaya.

Rasisme juga masih melekat pada masyarakat konsumen, dengan cara mempromosikan konsep kecantikan yang cenderung merayakan dan mengagungkan orang-orang berkulit lebih terang.

Di Indonesia sendiri, rasisme terus menerus tumbuh dikalangan masyarakat maupun pemerintah. Bahkan pandangan rasisme ini tumbuh secara struktural dan sistematis.

Yang saya mau tekankan dalam artikel ini adalah bahwa dalam suatu kehidupan, lingkungan, maupun bernegara. Ada yang namanya kelompok yang menindas dan kelompok yang ditindas.

Sebenarnya kelompok yang menindas dan kelompok yang ditindas ini selalu dan selalu tumbuh subur di kehidupan manusia secara terstruktur dan tersistem rapi. Secara tidak langsung sudah ada yang menjadi otak dibalik permainan ini.
Pada umumnya kelompok yang ditindas adalah kelompok minoritas dan kelompok yang menindas adalah kelompok mayoritas. yah, mau sampai kapanpun juga tetap akan seperti begini pada akhirnya.

Mengakhiri rasisme merupakan tugas kita baik secara individual maupun kolektif.

Pada tingkat individu, dalam mengatasi perspektif rasis dan menghentikan perilaku rasis dapat dimulai dengan cara mengubah pandangan dan jagat pikir kita.

Kita harus mulai menetralisir konsep tentang diri dan lian, dan mulai memperlakukan setiap orang secara setara – tanpa peduli apa pun warna kulit mereka. Hal ini juga dapat dimulai dengan berhenti percaya terhadap supremasi kulit putih dan mengakhiri pandangan yang minor terhadap sesama kita yang berkulit gelap.

Pada tingkat organisasi dan masyarakat, kita harus bisa menentang ideologi populer kontemporer tentang rasisme ilmiah.

Sebagai contoh, proses penerimaan murid baru di sekolah, berbagai layanan publik, dan perusahaan tidak boleh mendiskriminasi orang berdasarkan ras atau warna kulit mereka.

Organisasi-organisasi juga harus secara aktif mendukung orang-orang dari kelompok yang secara historis pernah tertindas karena diskriminasi berbasis ras dan seringkali tidak terwakilkan dalam berbagai bidang kehidupan publik.
Terakhir, pemerintah di seluruh dunia juga harus tetap berupaya dalam mengurangi ketidaksetaraan struktural yang muncul akibat adanya hierarki sosial yang rasis.

Kita semua harus mendekonstruksi supremasi kulit putih, yang merupakan “normal lama” kita, dan bergerak bersama untuk sepenuhnya percaya pada paham bahwa semua ras adalah sederajat.

Artinya, kita harus dapat menghargai setiap orang secara setara, dan juga secara alami melihat bahwa setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama.

Semoga semua usaha yang dilakukan individu maupun kelompok ataupun Pemerintah dapat berjalan dengan baik dan menganggap manusia lain sesuai dengan martabat manusia sebagai mana mestinya.

Penulis adalah salah satu Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Yogyakarta.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *