Oleh: Hendrik Christian Degei
NABIRE, PAPUA.RELASIPUBLIK.com – Mengikuti alur pembicaraan di alog Jayapura-Jakarta, ternyata keluhan yang datang dari Jakarta adalah hanya karena dengan melihat pembangunan Papua Bangkit yang terdapat pada dialog saat ini. Sedangkan keluhan dari elite politik adalah karena melihat panjangnya otsus dan hilangnya akal fiksi. Terlebih khusus adalah pada beberapa gelombang kejam sandiwara di publik.
Kasus pelanggaran HAM di Papua. Setelah bertahun lamanya, fantasi. Kapitalis membuat mendialog Papua bangkit secara absurd melihat lagi dalam pikiran bermimpi dalam kesadaran akal musnah (OPP) orang pribumi Papua. Seperti diantaranya Surabaya rasis, bapak Lukas Enembe pernah tindak atas dasar kasus pelanggaran bertahun meningkat maka, undang-undang otsus di Papua adalah bukan undang-undang 21 tahun: Hanya di kasih uang, itu saja, kemudian tak ada pembangunan di Papua affair politik mewakili (MRP) Majelis Perwakilan Rakyat.
Mengingat waktu – waktu memuja, Dunia akhir kiamat dan setumpuk surat kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sembunyikan jauh di lembaga perwakilan negara penguasa penjajah terhadap jelata menentukan referendum atau jajak pendapat pribumi Papua.
Sejauh ini, upaya hukum undang-undang yang terlihat tak ada perubahan pada kasus (HAM) lalu kemudian sampul luar berdialog Jakarta-Jayapura hanya sandiriwa menyembunyikan harkat dan martabat rakyat jelata yang di tindas.
Di Papua bangkit selama ini ada tiga jenis pokok pelanggaran (HAM) yang terdampar hingga banyak rakyat jelata habisi jiwa manusia. Ketiga kasus besar adalah rasisme di Surabaya, operasi militer Wamena-Ndunggama dan korban menolak danah otsus paket jilit ll. Pada kasus pelanggaran (HAM) sebelumnya, hanya memiliki tulisan Papua bangkit bagi para elite politik bersama militer berupa bertopeng rama alias bertamu bapak jokowi di ruang pribadi topeng Domba.
Aliansi pilitik para elite berbahak-bahak rantai bibir menahan hawa bertaruh barter hawa dengan rupiah menyedot 27 negara kapitalis membuat rakyat jelata habisi geopolitik di area sekitar Feereport. Bahan bakar minyak menyatuh di bingkai garuda hingga Irjen Pol Palus Waterpauw rangkum berbincang dengan presiden atas aliansi rakyat jelata menolak paket jilit ll demi aklamasi minyak di Sorong.
Kasus pelanggaran bertahun Follow Up, dialog Jayapura-Jakarta kasus pelanggaran (HAM) sandiwara tingkat punah. Penolakan paket jilit ll sebagai titik suatu sudut pandang aneksasi. Penjuru wabah menggerut jiwa merupakan latar pengelolah modal sebuah perusahan bagi pengusaha besar para elit beslit sistim separatis, hingga korban rakyat jelata hadir diskriminasi di tengah-tengah masyarakat.
Elan rakyat pribumi tiada hari, tak henti. Para demokasi perwakilan rakyat seakan nakan memanipulasi jiwa rakyat bahkan menguras kekayaan alam hingga lupah untuk reboisasi menurun gelombang meletus di atas perbukitan merata akan tandus entah kemana menuju Papua bangkit di tahun PON (Pekan Olahraga Nasional), Papua menuju 2021,” besok.
Menurut saya itu salah sasaran, sebab tak ada istilah paket Otsus Jilid I dan Jilid II , karena undang-undang otsus rakyat Papua tetap berlaku sepanjang belum di cabut secara Resmi oleh Pemerintah Pusat atau dibatalkan.
Dimana, saat ini pemerintah bersama (DPR-RI) sedang konsentrasi pembahasan revisi undang-undang otsus, dengan substansi pasal-pasal tertentu yang mengatur soal dana otsus dua persen, dari DAU nasional dan penguatan terhadap beberapa pasal tertentu agar implementasi otsus lebih konsisten terhadap jelata Papua.
Rakyat yang menyuarakan kitorang jadi kodau diatas penindasan.
“Papua butuh sumber daya manusia bukan, butuh lagi pembangunan untuk Papua bangkit.”
Seperti itulah rakyat jelata. Jakarta sedang gunakan segelintir oportunis LSM, Adat, Akademisi, dan Elit politik Papua untuk setujui paket otsus jilid II secara sistim bikameral. Pasti sebagai bangsa yang waras, kita tak akan menerima paket politik kolonialisme ini di teruskan diatas tanah air West Papua yang terus bermandi darah.
Penyelesaikan konflik politik yang berkepanjangan, aktor konflik memang sifat lasim penguasa kolonial Indonesia; persis Pepera 1969 yang memilih segelintir orang Papua untuk melegitimasi permainan kotornya bahkan pula Biak berdarah.
Sungguh kita lebih bodoh dari binatang bila membiarkan diri jatuh di dalam lubang yang sama. Kita telah saksikan sendiri 20 tahun otsus, Papua hanya menjadi siluman monyet, hingga mengalas hentakan bineka altruis. Monyet beraneka simbol boneka, juga budak.
Pengadilan milter jadi berbondong ratusan jiwa rakyat pribumi yang mengajam diadili hukuman mati, merobekkan, pemerkosaan, bahkan hari ini jadi dan menjadi saksi di Dunia sandiwara. Alias pentuntut hukum biasa putusan pengadilan tinggi (untuk kasassi) tak batal hukum karena di benarkan oleh penguasa para berhati panas.
Thian Degei/PRP
Admin: PRP